BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perbankan
syariah atau perbankan
Islam adalah suatu sistem perbankan yang
pelaksanaannya berdasarkan hukum Islam (syariah).
Pembentukan sistem ini berdasarkan adanya larangan dalam agama Islam
untuk meminjamkan atau memungut pinjaman dengan mengenakan bunga
pinjaman (riba),
serta larangan untuk berinvestasi pada usaha-usaha berkategori terlarang (haram). Sistem perbankan
konvensional tidak dapat menjamin absennya hal-hal tersebut dalam
investasinya, misalnya dalam usaha yang berkaitan dengan produksi makanan atau
minuman haram, usaha media atau hiburan yang tidak Islami, dan lain-lain.
Meskipun
prinsip-prinsip tersebut mungkin saja telah diterapkan dalam sejarah
perekonomian Islam, namun baru pada akhir abad ke-20 mulai berdiri bank-bank
Islam yang menerapkannya bagi lembaga-lembaga komersial
swasta
atau semi-swasta dalam komunitas muslim di dunia.
Pengembangan sistem perbankan syariah di Indonesia dilakukan
dalam kerangka dual-banking system atau sistem perbankan ganda dalam kerangka Arsitektur
Perbankan Indonesia (API), untuk menghadirkan alternatif jasa perbankan yang
semakin lengkap kepada masyarakat Indonesia. Secara bersama-sama, sistem
perbankan syariah dan perbankan konvensional secara sinergis mendukung
mobilisasi dana masyarakat secara lebih luas untuk meningkatkan kemampuan
pembiayaan bagi sektor-sektor perekonomian nasional.
Karakteristik sistem perbankan syariah yang beroperasi
berdasarkan prinsip bagi hasil memberikan alternatifsistem perbankan yang
saling menguntungkan bagi masyarakat dan bank, serta menonjolkan aspek keadilan
dalam bertransaksi, investasi yang beretika, mengedepankan nilai-nilai
kebersamaan dan persaudaraan dalam berproduksi, dan menghindari kegiatan
spekulatif dalam bertransaksi keuangan. Dengan menyediakan beragam produk serta
layanan jasa perbankan yang beragam dengan skema keuangan yang lebih bervariatif,
perbankan syariah menjadi alternative sistem perbankan yang kredibel dan dapat
dinimati oleh seluruh golongan masyarakat Indonesia tanpa terkecuali.
Dalam konteks pengelolaan perekonomian makro, meluasnya
penggunaan berbagai produk dan instrumen keuangan syariah akan dapat merekatkan
hubungan antara sektor keuangan dengan sektor riil serta menciptakan
harmonisasi di antara kedua sektor tersebut. Semakin meluasnya penggunaan
produk dan instrument syariah disamping akan mendukung kegiatan keuangan dan
bisnis masyarakat juga akan mengurangi transaksi-transaksi yang bersifat
spekulatif, sehingga mendukung stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan,
yang pada gilirannya akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap
pencapaian kestabilan harga jangka menengah-panjang.
Dengan telah diberlakukannya Undang-Undang No.21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah yang terbit tanggal 16 Juli 2008, maka pengembangan industry
perbankan syariah nasional semakin memiliki landasan hukum yang memadai dan
akan mendorong pertumbuhannya secara lebih cepat lagi. Dengan progres
perkembangannya yang impresif, yang mencapai rata-rata pertumbuhan aset lebih
dari 65% pertahun dalam lima tahun terakhir, maka diharapkan peranindustry
perbankan syariah dalam mendukung perekonomian nasional akan semakin
signifikan.
Dari latar belakang
masalah tersebut, maka penulis tertarik untuk membahas makalah dengan judul “Perbankan Syariah (Kasus Pajak Ganda Murabahah )”
BAB II
PEMBAHASAN
Bank syariah adalah bank yang berdasarkan, antara lain kemitraan, keadilan,
transparansi dan universal, serta melakukan kegiatan usaha perbankan
berdasarkan prinsip islam (syariah). (Gozali, 2004).
Bank syariah beroperasi atas
dasar konsep bagi hasil dan tidak menggunakan bunga untuk memperoleh pendapatan
maupun membebankan bunga atas penggunaan dana atau pinjaman.
Bank Syariah mempunyai dasar-dasar hukum dalam menjalankan kegiatannya.
Adapun landasan hukumnya adalah:
1. PP No 72
tahun 1992 tentang bank berdasarkan prinsip bagi hasil
2. UU No 7
tahun 1992 Jo UU Perbankan No. 10 tahun 1998
3.
SK Direktur
Bank Indonesia No 32/34/Kep/dir K Se BI No 32 /2/UPPB tanggal 12 Mei 1999
tentang bank umum berdasarkan prinsip
syariah.
2.1.2 Prinsip-prinsip Umum Bank Syariah
Dalam menjalankan usahanya, bank syariah harus tetap berpedoman pada
nilai-nilai syariah. Prinsip itu berpedoman pada Alquran dan Hadits.
Prinsip yang diterapkan bank syariah meliputi (Hafidhuddin,2003) :
1. Prinsip
pengharaman riba
Prinsip ini tercermin dari praktek pengelolaan dana nasabah. Dana yang berasal
dari nasabah penyimpan harus jelas asal usulnya. Sedangkan penyalurannya harus
dalam usaha-usaha yang tidak bertentangan dengan syari.
2.
Prinsip
keadilan
Prinsip ini tercermin dari penerapan sistem bagi hasil dan pengambilan
keuntungan berdasarkan hasil kesepakatan dua belah pihak.
3.
Prinsip
Kesamaan
Prinsip ini tercermin dengan menempatkan posisi nasabah serta bank pada
posisi yang sederajat. Kesamaan ini terwujud dalam hak, kewajiban, risiko dan
keuntungan yang berimbang di antara nasabah penyimpan dana, nasabah pengguna
dana maupun bank.
2.1.3 Karakteristik Bank
Syariah
Menurut Ikatan Akuntansi Indonesia (2002). Beberapa hal yang menjadi ciri
sekaligus yang membedakannya dengan bank konvensional adalah :
a.
Prinsip
syariah Islam dalam pengelolaan harta menekankan pada keseimbangan antara
kepentingan individu dan masyarakat. Harta harus dimanfaatkan untuk hal-hal
produktif terutama kegiatan investasi yang merupakan landasan aktifitas ekonomi
dalam masyarakat. Tidak setiap orang mampu secara langsung menginvestasikan
hartanya untuk menghasilkan keuntungan. Oleh karena itu, diperlukan suatu
lembaga perantara yang menghubungkan masyarakat pemilik dana dan pengusaha yang
memerlukan dana (pengelola dana). Salah satu bentuk lembaga perantara tersebu t
adalah bank yang kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah.
b.
Bank syariah
adalah bank yang berasaskan antara lain pada asas kemitraan, keadilan,
transparansi dan universal serta melakukan kegiatan usaha perbankan berdasarkan
prinsip syariah. Kegiatan bank syariah merupakan implementasi dari prinsip
ekonomi Islam dengan karakteristik antara lain sebagai berikut :
1) Pelarangan
riba dalam berbagai bentuknya
2) Tidak
mengenal konsep nilai waktu dari uang (time value of money)
3) Konsep uang
sebagai alat tukar bukan sebagai komoditas
4) Tidak
diperkenankan melakukan kegiatan yang bersifat spekulatif
5) Tidak
diperkenankan menggunakan dua harga untuk satu barang
6) Tidak
diperkenankan dua transaksi dalam satu akad
c.
Bank syariah
beroperasi atas dasar konsep bagi hasil. Bank syariah tidak menggunakan bunga
sebagai alat untuk memperoleh pendapatan maupun membebankan bunga atas
penggunaan dana dan pinjaman karena bunga merupakan riba yang diharamkan.
d.
Tidak secara
tegas membedakan sektor moneter dan sektor riil sehingga dalam usahanya dapat
melakukan transaksi-transaksi sektor riil, seperti jual beli dan sewa menyewa.
e.
Dapat
memperoleh imbalan untuk jasa tertentu yang tidak bertentangan dengan prinsip
syariah.
f.
Melakukan
kegiatan sesuai syariah. Suatu transaksi sesuai dengan prinsip syariah apabila
telah memenuhi seluruh syarat berikut ini :
1.
Transaksi
tidak mengandung unsur kedzaliman
2.
Bukan riba
3.
Tidak
membahayakan pihak sendiri atau pihak lain
4.
Tidak ada
penipuan (gharar)
5.
Tidak
mengandung materi-materi yang diharamkan
6.
Tidak
mengandung unsur judi (maisyir)
g. Kegiatan
bank syariah antara lain sebagai :
- Manajer investasi yang mengelola investasi atas dana nasabah dengan menggunakan akad mudharabah atau sebagai agen investasi.
- Investor yang menginvestasikan dana yang dimilikinya maupun dana nasabah yang dipercayakan kepadanya dengan menggunakan alat investasi yang sesuai dengan prinsip syariah dan membagi hasil yang diperoleh sesuai nisbah yang disepakati antara bank dan pemilik dana.
- Penyedia jasa keuangan dan lalu lintas pembayaran seperti bank non syariah sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
- Pengemban fungsi sosial berupa pengelola dana zakat, infaq, shadaqah serta pinjaman kebajikan (qardhul hasan) sesuai ketentuan yang berlaku.
h.
Dalam
penghimpunan dana, bank syariah menggunakan prinsip wadiah, mudharabah dan
prinsip lain yang sesuai dengan syariah. Sedangkan penyaluran dana menggunakan
:
- Prinsip musyarakah dan atau mudharabah untuk investasi pembiayaan.
- Prinsip murabahah, salam, dan atau istishna untuk jual beli.
- Prinsip ijarah dan atau ijarah muntahiyah bittamlik untuk sewa-menyewa.
- Prinsip lain yang sesuai syariah.
f.
Laporan
keuangan terdiri dari :
- Laporan keuangan yang mencerminkan kegiatan bank syariah sebagai investor beserta hak dan kewajibannya. Laporan ini meliputi :
a.
Laporan Laba
Rugi
b. Neraca
c.
Laporan Arus
Kas
d. Laporan
Perubahan Ekuitas
- Laporan keuangan yang mencerminkan perubahan dalam investasi terikat yang dikelola oleh bank syariah untuk kemanfaatan pihak-pihak lain berdasarkan akad mudharabah atau agen investasi yang dilaporkan dalam laporan perubahan dana investasi terikat.
- Laporan keuangan yang mencerminkan peran bank syariah sebagai pemegang amanah dana kegiatan sosial yang dikelola secara terpisah yang dilaporkan dalam :
1) Laporan
Sumber dan Penggunaan Dana ZIS
2) Laporan Sumber
dan Penggunaan Dana Qardh
4. Catatan atas laporan keuangan yang merupakan penjelasan dari data -data
yang tersaji di laporan keuangan tersebut.
2.1.4 Pengawasan Internal Bank Syariah
Pengawasan Internal merupakan salah satu elemen dalam sistem pengawasan
bank syariah yang merupakan suatu mekanisme internal untuk memberikan jaminan
kepatuhan syariah kepada para stakeholder bank syariah (Ilyas,
2004). Pengawasan internal syariah yang efektif akan meningkatkan rasa
kepercayaan masyarakat dan para stakeholder kepada bank syariah dalam
menerapkan prinsip dan aturan syariah.
Untuk memastikan bahwa operasional bank syariah telah memenuhi
prinsip-prinsip syariah, maka bank syariah harus memiliki institusi internal
independen yang khusus dalam pengawasan kepatuhan syariah, yaitu dewan pengawas
syariah (DPS). Dewan pengawas syariah merupakan badan independen yang
ditempatkan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) pada bank syariah yang anggotanya
terdiri dari para ahli bidang fiqih muamalah, dan memiliki pengetahuan umum
dalam bidang perbankan.
Sistem pengawasan internal syariah ditentukan oleh dua fungsi pengawasan
dalam bank syariah yaitu dewan pengawas syariah melalui shari’ah review,
dan internal audit melalui internal shari’a review.
Shari’a review merupakan pengujian kepatuhan syariah secara
menyeluruh terhadap aktivitas bank syariah, sehingga dewan pengawas syariah
harus memiliki akses yang lengkap dan bebas atas semua dokumen transaksi dan
semua informasi yang berasal dari berbagai sumber baik itu saran dari para ahli
maupun dari karyawan bank itu sendiri. Tujuan dari shari’a review adalah
untuk memastikan bahwa aktivitas yang dilakukan oleh bank syariah tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip dan aturan syariah yang telah difatwakan
dan diatur oleh dewan syariah (GSIFI dalam Suprayogi, 2006), sehingga dengan
dilakukan shari’a review diharapkan semua aktivitas dan produk bank
syariah dapat dipastikan sesuai dengan aturan dan prinsip syariah yang telah
ditetapkan dan diatur dewan pengawas syariah.
Adapun internal shari’a review merupakan fungsi intermediary
antara dewan pengawas syariah dengan pihak manajemen yang melakukan segala
aktivitasnya berdasarkan petunjuk, fatwa, dan perintah dari dewan pengawas
syariah dan manajemen. Oleh karena itu, internal shari’a review
adalah fungsi pengawasan internal syariah untuk menilai dan menguji kepatuhan
pihak manajemen secara menyeluruh terhadap aturan dan prinsip-prinsip yariah,
fatwa, petunjuk dan perintah yang dikeluarkan oleh dewan pengawas syariah.
Tujuan utama dari internal shari’a review adalah untuk memastikan
bahwa manajemen dari bank syariah melaksanakan tanggung jawabnya untuk
melaksanakan prinsip-prinsip dan aturan syariah yang telah ditetapkan oleh
dewan pengawas syariah (GSIFI dalam Suprayogi, 2006). Internal shari’a
review akan melakukan pengujian dan evaluasi kepatuhan secara menyeluruh
atas manajemen bank syariah terhadap kepatuhan prinsip-prinsip dan aturan
syariah, fatwa, arahan, dan perintah-perintah yang dikeluarkan oleh dewan
pengawas syariah.
Fungsi internal shari’a review dilaksanakan oleh departemen internal
audit atau internal control yang memiliki kualifikasi dan
independensi yang layak. Adapun ruang lingkup tugasnya adalah pengujian dan
penilaian terhadap kecukupan dan efektifitas sistem pengawasan internal syariah
dan bertanggung jawab atas kualitas pekerjaan yang telah menjadi tugasnya.
2.2 Sejarah
Perbankan Syariah di Indonesia
Indonesia
yang sebagian besar penduduknya adalah Muslim membuat negara ini menjadi pasar
terbesar di dunia bagi perbankan syariah. Besarnya populasi muslim itu
memberikan ruang yang cukup lebar bagi perkembangan bank syariah di Indonesia.
Di Indonesia, bank syariah pertama baru lahir tahun 1991 dan
beroperasi secara resmi tahun 1992. Padahal, pemikiran mengenai hal ini sudah
terjadi sejak dasawarsa 1970-an. Menurut Dawam Raharjo, saat memberikan Kata
Pengantar buku Bank Islam Analisa Fiqih dan Keuangan penghalangnya adalah
faktor politik, yaitu bahwa pendirian bank Islam dianggap sebagai bagian dari
cita-cita mendirikan Negara Islam (baca buku Bank Islam Analisa Fiqih dan
Keuangan karya Adiwarman Karim – IIIT Indonesia, 2003).
Namun, sejak 2000-an, setelah terbukti keunggulan bank
syariah (bank Islam) dibandingkan bank konvensional – antara lain, Bank
Muamalat tidak memerlukan suntikan dana, ketika bank-bank konvensional menjerit
minta Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) ratusan triliunan akibat
negative spread – bank-bank syariah pun bermunculan di Indonesia.
Hingga akhir Desember 2006, di Indonesia terdapat tiga Bank Umum
Syariah (BUS) dan 20 Unit Usaha Syariah (UUS). Fungsi-fungsi bank sudah
dipraktikkan oleh para sahabat di zaman Nabi SAW, yakni menerima simpanan uang,
memberikan pembiayaan, dan jasa transfer uang. Namun, biasanya satu orang hanya
melakukan satu fungsi saja. Baru kemudian, di zaman Bani Abbasiyah, ketiga
fungsi perbankan dilakukan oleh satu individu.
Usaha modern pertama untuk mendirikan bank tanpa bunga
pertama kali dilakukan di Malaysia pada pertengahan tahun 1940-an, namun usaha
tersebut tidak berhasil. Berikutnya, eksperimen dilakukan di Pakistan pada
akhir 1950-an. Namun, eksperimen pendirian bank syariah yang paling sukses dan
inovatif di masa modern dilakukan di Mesir pada 1963, dengan berdirinya Mit
Ghamr Local Saving Bank. Kesuksesan Mit Ghamr memberi inspirasi bagi umat
Muslim di seluruh dunia, sehingga muncul kesadaran bahwa prinsip-prinsip Islam
ternyata masih dapat diaplikasi dalam bisnis modern.
Salah satu tonggak perkembangan perbankan Islam adalah
didirikannya Islamic Development Bank (IDB, atau Bank Pembangunan Islam) pada
tahun 1975, yang berpusat di Jeddah. Bank pembangunan yang menyerupai Bank
Dunia (World Bank) dan Bank Pembangunan Asia (Asia Development Bank, ADB) ini
dibentuk oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang anggota-anggotanya adalah
negara-negara Islam, termasuk Indonesia.
Pada era 1970-an, usaha-usaha untuk mendirikan bank Islam
sudah menyebar ke banyak negara. Misalnya, Dubai Islamic Bank (1975) dan Kuwait
Finance House (1977) di Timur Tengah. Beberapa negara seperti Pakistan, Iran,
dan Sudan, bahkan mengubah seluruh sistem keuangan di negara tersebut menjadi
nur-bung, sehingga semua lembaga keuangan di negara tersebut beroperasi tanpa
menggunakan bunga. Kini perbankan syariah sudah menyebar ke berbagai negara,
bahkan negara-negara Barat. The Islamic Bank International of Denmark tercatat
sebagai bank syariah pertama yang beroperasi di Eropa, tepatnya Denmark, tahun
1983. Di Asia Tenggara, tonggak perkembangan perbankan terjadi pada awal
dasawarsa 1980-an, dengan berdirinya Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB) pada
tahun 1983.
2.3 Prinsip Perbankan Syariah
Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum
Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan
kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan syariah.
Beberapa
prinsip/ hukum yang dianut oleh sistem perbankan syariah antara lain :
- Pembayaran terhadap pinjaman dengan nilai yang berbeda dari nilai pinjaman dengan nilai ditentukan sebelumnya tidak diperbolehkan.
- Pemberi dana harus turut berbagi keuntungan dan kerugian sebagai akibat hasil usaha institusi yang meminjam dana.
- Islam tidak memperbolehkan “menghasilkan uang dari uang”. Uang hanya merupakan media pertukaran dan bukan komoditas karena tidak memiliki nilai intrinsik.
- Unsur Gharar (ketidakpastian, spekulasi) tidak diperkenankan. Kedua belah pihak harus mengetahui dengan baik hasil yang akan mereka peroleh dari sebuah transaksi.
- Investasi hanya boleh diberikan pada usaha-usaha yang tidak diharamkan dalam islam. Usaha minuman keras misalnya tidak boleh didanai oleh perbankan syariah.
2.4
Produk Penghimpun Dana Bank Syariah
Beberapa produk jasa yang disediakan oleh bank berbasis
syariah antara lain:
a.
Jasa
untuk peminjam dana
- Mudhorobah, adalah perjanjian antara penyedia modal dengan pengusaha. Setiap keuntungan yang diraih akan dibagi menurut rasio tertentu yang disepakati. Resiko kerugian ditanggung penuh oleh pihak Bank kecuali kerugian yang diakibatkan oleh kesalahan pengelolaan, kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah seperti penyelewengan, kecurangan dan penyalahgunaan.
- Musyarokah (Joint Venture), konsep ini diterapkan pada model partnership atau joint venture. Keuntungan yang diraih akan dibagi dalam rasio yang disepakati sementara kerugian akan dibagi berdasarkan rasio ekuitas yang dimiliki masing-masing pihak. Perbedaan mendasar dengan mudharabah ialah dalam konsep ini ada campur tangan pengelolaan manajemennya sedangkan mudharabah tidak ada campur tangan
- Murobahah , yakni penyaluran dana dalam bentuk jual beli. Bank akan membelikan barang yang dibutuhkan pengguna jasa kemudian menjualnya kembali ke pengguna jasa dengan harga yang dinaikkan sesuai margin keuntungan yang ditetapkan bank, dan pengguna jasa dapat mengangsur barang tersebut. Besarnya angsuran flat sesuai akad diawal dan besarnya angsuran=harga pokok ditambah margin yang disepakati. Contoh:harga rumah, 500 juta, margin bank/keuntungan bank 100 jt, maka yang dibayar nasabah peminjam ialah 600 juta dan diangsur selama waktu yang disepakati diawal antara Bank dan Nasabah.
- Takaful (asuransi islam)
- Al-Muzara'ah, adalah bank memberikan pembiayaan bagi nasabah yang bergerak dalam bidang pertanian/perkebunan atas dasar bagi hasil dari hasil panen.
- Al-Musaqah, adalah bentuk lebih yang sederhana dari muzara'ah, di mana nasabah hanya bertanggung-jawab atas penyiramaan dan pemeliharaan, dan sebagai imbalannya nasabah berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen
b.
Jasa
untuk penyimpan dana
- Wadi’ah (jasa penitipan), adalah jasa penitipan dana dimana penitip dapat mengambil dana tersebut sewaktu-waktu. Dengan sistem wadiah Bank tidak berkewajiban, namun diperbolehkan, untuk memberikan bonus kepada nasabah.
- Deposito Mudhorobah, nasabah menyimpan dana di Bank dalam kurun waktu yang tertentu. Keuntungan dari investasi terhadap dana nasabah yang dilakukan bank akan dibagikan antara bank dan nasabah dengan nisbah bagi hasil tertentu.
- Jual beli
- Bai' Al-Murabahah, adalah penyaluran dana dalam bentuk jual beli. Bank akan membelikan barang yang dibutuhkan pengguna jasa kemudian menjualnya kembali ke pengguna jasa dengan harga yang dinaikkan sesuai margin keuntungan yang ditetapkan bank, dan pengguna jasa dapat mengangsur barang tersebut. Besarnya angsuran flat sesuai akad diawal dan besarnya angsuran=harga pokok ditambah margin yang disepakati. Contoh: harga rumah 500 juta, margin bank/keuntungan bank 100 jt, maka yang dibayar nasabah peminjam ialah 600 juta dan diangsur selama waktu yang disepakati diawal antara Bank dan Nasabah.
- Bai' As-Salam, Bank akan membelikan barang yang dibutuhkan di kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan di muka. Barang yang dibeli harus diukur dan ditimbang secara jelas dan spesifik, dan penetapan harga beli berdasarkan keridhaan yang utuh antara kedua belah pihak. Contoh: Pembiayaan bagi petani dalam jangka waktu yang pendek (2-6 bulan). Karena barang yang dibeli (misalnya padi, jagung, cabai) tidak dimaksudkan sebagai inventori, maka bank melakukan akad bai' as-salam kepada pembeli kedua (misalnya Bulog, pedagang pasar induk, grosir). Contoh lain misalnya pada produk garmen, yaitu antara penjual, bank, dan rekanan yang direkomendasikan penjual.
- Bai' Al-Istishna', merupakan bentuk As-Salam khusus di mana harga barang bisa dibayar saat kontrak, dibayar secara angsuran, atau dibayar di kemudian hari. Bank mengikat masing-masing kepada pembeli dan penjual secara terpisah, tidak seperti As-Salam di mana semua pihak diikat secara bersama sejak semula. Dengan demikian, bank sebagai pihak yang mengadakan barang bertanggung-jawab kepada nasabah atas kesalahan pelaksanaan pekerjaan dan jaminan yang timbul dari transaksi tersebut.
2.5
Produk Penyaluran Dana Bank Syariah
Produk peyaluran dana pada nasabah secara garis besar dibagi menjadi empat
kategori yang dibedakan berdasarkan tujuan penggunaannya yaitu :
1.
Pembiayaan
dengan prinsip jual beli, transaksi
pembiayaan yang ditujukan untuk memiliki barang.
2.
Pembiayaan
dengan prinsip sewa, transaksi
pembiayaan yang ditujukan untuk mendapatkan jasa
3.
Pembiayaan
dengan prinsip bagi hasil (investasi), transaksi pembiayaan untuk usaha kerja sama yang ditujukan
guna mendapat sekaligus barang dan jasa
4.
Pembiayaan
dengan prinsip akad
Prinsip Jual beli
Prinsip
jual beli, berhubungan dengan adanya perpindahan kepemilikan barang atau benda.
Tingkat keuntungan Bank ditentukan di depan dan menjadi bagian harga atas
barang yang dijual. Transaksi jual beli dibedakan atas bentuk pembayaran dan
penyerahan barang sebagai berikut:
a. Pembiayaan Murabahah
Bank
bertindak sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli. Harga jual adalah harga
beli Bank dari pemasok ditambah keuntungan. Kedua pihak harus sepakat atas
harga jual dan jangka waktu pembayaran. Harga jual dicantumkan dalam akad jual
beli, dan tak berubah selama berlakunya akad. Dalam transaksi ini barang
diserahkan setelah akad, sedangkan pembayaran dilakukan secara tangguh.
b. Salam
Transaksi
jual beli dimana barang yang diperjualbelikan belum ada. Oleh karena itu barang
diserahkan secara tangguh, sedang pembayaran secara tunai. Bank bertindak
sebagai pembeli, nasabah sebagai penjual. Sekilas transaksi ini mirip jual beli
ijon, namun dalam salam, kuantitas, kualitas, harga dan waktu penyerahan barang
ditentukan secara pasti. Dalam praktek, barang yang telah diserahkan kepada
Bank, maka Bank dapat menjual kembali barang tersebut secara tunai atau
cicilan. Harga jual yang ditetapkan adalah harga beli ditambah keuntungan.
Umumnya
transaksi ini diterapkan dalam pembiayaan barang yang belum ada, seperti
pembelian komoditi pertanian oleh bank, untuk kemudian dijual kembali secara
tunai atau cicilan.
Ketentuan
umum salam:
·
Pembelian
hasil produksi harus diketahui spesifikasinya secara jelas: jenis,
macam/bentuk, ukuran, mutu dan jumlahnya.
·
Bila
hasil produksi yang diterima tidak sesuai, maka nasabah harus bertanggung
jawab, antara lain mengembalikan dana yang telah diterima atau mengganti barang
sesuai pesanan.
·
Karena
Bank tak menjadikan barang yang dibeli/dipesan sebagai persediaan (inventory),
maka Bank dimungkinkan untuk melakukan akad salam pada pihak ketiga. Mekanisme
seperti ini disebut dengan paralel salam.
c. Istishna
Menyerupai
salam, namun pembayaran dapat dilakukan oleh bank dalam beberapa termin
pembayaran. Skim istishna dalam Bank Syariah, umum dilakukan untuk pembiayaan
manufaktur dan konstruksi. Spesifikasi barang pesanan harus jelas, seperti:
jenis, ukuran, mutu dan jumlah. Harga jual dicantumkan dalam akad istishna dan
tak boleh berubah selama berlakunya akad.
Prinsip sewa (Ijarah)
Transaksi
ijarah dilandasi adanya perpindahan manfaat. Bila pada jual beli obyek
transaksi adalah barang, maka pada ijarah obyeknya jasa. Pada akhir masa sewa,
bank dapat menjual barang yang disewakannya kepada nasabah. Harga jual dan
harga sewa disepakati pada awal perjanjian.
Prinsip Bagi Hasil
Prinsip
bagi hasil dibagi dua, yaitu:
a. Musyarakah
Transaksi
musyarakah dilandasi adanya keinginan para pihak yang bekerja sama untuk
meningkatkan nilai aset yang mereka miliki secara bersama-sama.
Ketentuan
umum: Semua modal disatukan untuk dijadikan modal proyek musyarakah dan
dikelola bersama-sama. Setiap pemilik modal berhak turut serta dalam menentukan
kebijakan usaha yang dijalankan oleh pelaksana proyek.
b. Mudharabah
Adalah
bentuk kerja sama antara 2 (dua) atau lebih pihak dimana pemilik modal
mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu
perjanjian pembagian keuntungan.
Ketentuan
umum:
·
Jumlah
modal yang diserahkan kepada nasabah selaku pengelola modal, harus secara
tunai, dapat berupa uang tunai atau barang yang dinyatakan nilainya dalam
satuan uang. Jika modal diserahkan secara bertahap, harus jelas tahapannya dan
disepakati bersama
·
Hasil
pengelolaan diperhitungkan dengan 2 (dua) cara: 1) revenue sharing, yang
berasal dari pendapatan proyek, dan 2) profit sharing, dari keuntungan
proyek.
·
Bank
berhak melakukan pengawasan terhadap pekerjaan, namun tak berhak mencampuri
urusan pekerjaan/usaha nasabah.
Akad Pelengkap
Untuk
mempermudah pelaku pembiayaan, diperlukan akad pelengkap. Meski tak ditujukan
mencari keuntungan, dalam akad pelengkap dibolehkan untuk meminta pengganti
biaya-biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan akad ini. Besar pengganti biaya
sekedar untuk menutupi biaya yang benar-benar timbul.
a. Hiwalah (alih piutang)
Fasilitas
ini lazim untuk membantu supplier mendapatkan modal tunai agar dapat
melanjutkan produksi. Bank mendapat ganti biaya atas jasa pemindahan piutang.
b. Rahn (gadai)
Untuk
memberi jaminan pembayaran kembali kepada Bank dalam memberikan pembiayaan. Barang
yang digadaikan wajib memenuhi kriteria:a) Milik nasabah sendiri, b)Jelas
ukuran, sifat dan nilainya, ditentukan berdasar nilai riil pasar, c) Dapat
dikuasai, tapi tak boleh dimanfaatkan oleh bank.
c. Qard
Adalah
pinjaman uang.
Aplikasi
Qard dalam perbankan, antara lain:
·
Sebagai
pinjaman talangan haji, dimana nasabah calon haji diberi pinjaman talangan
untuk memenuhi syarat penyetoran biaya perjalanan haji. Pinjaman dilunasi
sebelum berangkat haji.
·
Sebagai
pinjaman tunai (cash advance) dari produk kartu kredit syariah.
d. Wakalah (perwakilan)
Terjadi
bila nasabah memberi kuasa kepada Bank untuk mewakili dirinya melaksanakan
pekerjaan jasa tertentu, seperti pembukuan L/C (Letter of Credit),
inkaso dan transfer uang.
e. Kafalah (Bank Garansi)
Diberikan
dengan tujuan untuk menjamin pembayaran suatu kewajiban pembayaran. Bank dapat
mensyaratkan nasabah untuk menempatkan sejumlah dana untuk fasilitas ini
sebagai rahn (gadai), serta Bank dapat pula menerima dana tersebut dengan
prinsip wadiah. Bank diperkenankan mendapat ganti biaya atas jasa yang
diberikan.
2.6 Perbedaan
Bank Syariah Dengan Bank Konvensional
Beberapa kalangan masyarakat masih mempertanyakan perbedaan
antara bank syariah dengan konvensional. Bahkan ada sebagian masyarakat yang
menganggap bank syariah hanya trik kamuflase untuk menggaet bisnis dari
kalangan muslim segmen emosional. Sebenarnya cukup banyak perbedaan antara bank
syariah dengan bank konvensional, mulai dari tataran paradigma, operasional,
organisasi hingga produk dan skema yang ditawarkan. Paradigma bank syariah
sesuai dengan ekonomi syariah yang telah dijelaskan di muka. Sedangkan
perbedaan lainnya adalah sbb.:
Jenis perbedaan
|
Bank syariah
|
Bank konvensional
|
Landasan hukum
|
Al Qur`an & as Sunnah + Hukum
positif
|
Hukum positif
|
Basis operasional
|
Bagi hasil
|
Bunga
|
Skema produk
|
Berdasarkan syariah, semisal
mudharabah, wadiah, murabahah, musyarakah dsb
|
Bunga
|
Perlakuan terhadap Dana Masyarakat
|
Dana masyarakat merupakan
titipan/investasi yang baru mendapatkan hasil bila diputar/di’usahakan’
terlebih dahulu
|
Dana masyarakat merupakan simpanan
yang harus dibayar bunganya saat jatuh tempo
|
Sektor penyaluran dana
|
Harus yang halal
|
Tidak memperhatikan halal/haram
|
Organisasi
|
Harus ada DPS (Dewan Pengawas
Syariah)
|
Tidak ada DPS
|
Perlakuan Akuntansi
|
Accrual dan cash basis (untuk bagi
hasil)
|
Accrual basis
|
Orientasi
|
Berorientasi keuntungan dan falah
(kebahagiaan dunia dan akhirat sesuai ajaran Islam)
|
Berorientasi keuntungan
|
Hubungan dengan nasabah
|
Hubungan
dengan nasabah dalam bentuk kemitraan
|
Terdapat
perbedaan pula antara bagi hasil dan bunga bank, yaitu sbb.:
Bunga
|
Bagi hasil
|
Suku bunga ditentukan di muka
|
Nisbah bagi hasil ditentukan di
muka
|
Bunga diaplikasikan pada pokok
pinjaman (untuk kredit)
|
Nisbah bagi hasil diaplikasikan
pada pendapatan yang diperoleh nasabah pembiayaan
|
Suku bunga dapat berubah
sewaktu-waktu secara sepihak oleh bank
|
Nisbah bagi hasil dapat berubah
bila disepakati kedua belah pihak
|
2.7 Kasus
Perbankan Syariah (Permasalahan
Pajak Ganda Murabahah)
Permasalahan pajak ganda yang dikenakan kepada bank-bank
Syariah dengan skim murabahahnya sebenarnya issue yang sudah lama. Rumor ini
muncul sejak tahun 1997, dan saat ini kembali ramai diperdebatkan lantaran
pajak yang harus dibayarkan kepada Ditjen Pajak jauh lebih besar dari
pendapatan yang diterima oleh bank-bank syariah dengan transaksi murabahahnya.
Pada prinsipnya Murabahah itu jual beli, ketika ada
permintaan dari nasabah, bank terlebih dahulu membeli pesanan sesuai permintaan
nasabah, lalu bank menjualnya kembali kepada pemesan dengan harga aslinya lalu
ditambah dengan margin keuntungan yang telah disepakati oleh pemesan.
Karena transaksi jual beli itu terjadinya dua kali, maka
terjadi dua kali peralihan kepemilikan sehingga PPN-nya dikenakan dua kali
juga. Menurut UU No. 18 Tahun 2000 (tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah, utamanya Pasal 1A ayat (1), huruf a dan b,)
berarti juga terbebani dua kali pembayaran pajak.
Bagaimana pajak ganda itu diterapkan? Ilustrasi ; Misalkan ,
ada nasabah datang ke bank bermaksud ingin membeli motor seharga 15 juta di
dealer A, lalu bank menuliskan transaksi akad tersebut dengan meminta margin
(keuntungan) 5%. Jadi harganya 15.750.000. lalu bank membeli motor tersebut di
dealer A dan menyerahkan kepada nasabah.
Nah pada saat bank membeli motor dari dealer A seharga 15
juta, bank sebenarnya sudah dikenai pajak, dimana harga yang Rp. 15 juta itu
sudah termasuk pajak PPN 10%. – Ceritanya menjadi lain jika membelinya langsung
dari pabriknya. kemudian pada saat menjual kembali kepada pemesan seharga Rp.
15.750.000, bank dikenai pajak lagi. Katakanlah pajak PPN yang dikenakan
sebesar 10%. Sehingga bank harus membayar pajaknya sebesar: 15.750.000 X 10%
/100 = 1.575.000,- (ini yang menjadi sumber kerugian bank)
Dengan ilustrasi diatas, dapat dikatakan dalam setiap
melakukan transaksi murabahahnya, bank syariah akan selalu mengalami kerugian
karena harus membayar pajak yang lebih besar dari keuntungan yang diperolehnya.
pengambilan margin yang hanya sebesar 5 persen dari transaksi murabahah ini
sebelumnya sudah dipertimbangkan oleh bank-bank syariah, sebab jika bank-
syariah mengambil keuntungan yang lebih besar dari setiap transaksi
murabahahnya, katakanlah lebih besar dari PPN 10% dengan alasan supaya menutupi
kerugian pembayaran pajaknya, tentunya bank syariah akan kalah bersaing dengan
bank-bank lain seperti bank konvensional yang memberikan kredit pembiayaan
lebih kecil karena bank konvensional tidak dikenai pajak ganda. Lantaran
mengambil margin yang lebih besar dari bank konvensional, para nasabah pun
pastinya akan memilih bank yang memberikan pembayaran cicilan lebih murah dari
bank syariah.
Jika merujuk kepada UU Nomor 42/2009 mengenai PPN, aturan
PPN murabahah sejatinya sudah dihapuskan, aturan ini baru efektif April 2010
nanti. Hanya saja, penghapusan ini hanya bersifat kasuistis. Artinya, bank
syariah dengan transaksi murabahahnya, masih harus berkewajiban membayar
tagihan pajak tahun-tahun sebelumnya.
Itulah alasan mengapa sekarang ini bank-bank syariah menjadi
bank yang memiliki tunggakan besar pajaknya. Sebagai contoh BNI, lantaran
terkena pajak ganda, Bank dengan plat merah ini masuk dalam daftar penunggang
pajak yang dirilis Ditjen Pajak. Pajak yang dimaksud adalah murni dari
transaksi murabahah UUS BNI pada tahun 2007. Besarannya sekitar 128,2 milyar,
dengan rincian PPn murabahah Rp. 108,2 milyar dan saksi administrasi Rp. 20
milyar. Padahal laba UUS BNI syariah pada tahun 2007 hanya 19,7 milyar. Jika
dihitung dari sejak UUS BNI berdiri pada ahun 2000 hingga tahun 2009, maka
total pajak murabahahnya adalah Rp 393 milyar. (Republika, 5 Februari 2010)
Pihak BNI menuntut keadilan Direktorat Jenderal Pajak dalam
menghitung objek pajak berganda transaksi murabahah perbankan syariah, karena
semua bank dalam industri tersebut memakai sistem serupa.Namun, di sisi lain
jika perhitungan itu diterapkan membuat industri perbankan gulung tikar karena
akan membayar pajak pertambahan nilai yang mencapai Rp3 triliun dalam 1 tahun.
Semua perbankan syariah memakai transaksi murabahah dalam
melakukan skema pembiayaan, sehingga jika dinilai ada pe-nunggakan pajak
berganda semua industri terkena.Pekan lalu, Dirjen Pajak mengumumkan bahwa BNI
bersama Bukopin masuk dalam 100 besar perusahaan penunggak pajak. Kasus kedua
perusahaan itu disebabkan oleh transaksi murabahah yang dikenai pajak berganda..
Alasan pemerintah ngotot menarik pajak berganda ini karena
melihat nilai pembiayaan murabahah yang lumayan. Tengok saja, dari total
pembiayaan perbankan syariah sebesar Rp 60 triliun, sekitar 57% atau Rp 34,2
triliun merupakan pembiayaan akad murabahah. “Jadi, ada potensi pajak Rp 3,42
triliun.
Jika bank-bank syariah tetap harus membayar tunggakan
pajaknya pada tahun-tahun sebelumnya, hal ini akan berakibat meruginya
bank-bank syariah, selain itu juga akan berdampak menurunya nilai asset yang
dimiliki. Sebab dari nilai transaksi yang dilakukan oleh bank-bank syariah,
sekitar 80 persen diantaranya adalah transaksi murabahah. Menurunnya nilai
asset, akan berdampak pada menurunya jumlah tranksaksi pembiayaan, menurunya
jumlah transaksi pembiayaan akan menurunya keuntungan/profit yang diperoleh.
Hal ini akan menghambat perkembangan bank syariah di Indonesia.
Selain itu, penghapusan pajak yang belum sepenuhnya clear,
membuat enggannya minat investor untuk masuk ke domain perbankan syariah.
Seperti misalnya; Kuwait Finance House dan Qatar Islamic Bank yang mau
menanamkan modalnya untuk Bank syariah setelah dihapuskannya pajak berganda itu
di Indonesia.
Berdasarkan Undang-undang No. 18 Tahun 2000 tentang
perubahan kedua atas Undang-undang No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa dan pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Tentunya regulasi
ini menjadikan perbankan syariah sangat terbebani. Padahal data menunjukkan
skim murabahah adalah produk yang sangat diminati dan menjadi andalan perbankan
syariah saat ini. Dari data terlihat transaksi perbankan syariah tidak kurang
dari Rp21,920 triliun dengan komposisi terbesarnya adalah murabahah yakni
Rp13,340 triliun atau sebayak 60,86 persen (Republika, 4/2).
Urgensi penghapusan
Paling
tidak ada dua alasan mendesak pentingnya dihapus pajak ganda (double taxation)
tersebut yaitu :
Pertama, pajak ganda ini menjadi penghambat
perkembangan perbankan syariah, padahal saat ini sedang dilakukan pencapaian
target aset perbankan syariah menjadi dua persen. Jika kita melihat data pada
skim pembiayaan terjadi penurunan, tahun 2007 tercatat laju pertumbuhan bank
syariah mencapai 30,1 persen, lebih rendah dibanding pembiayaan tahun 2006 yang
mencapai 34,2 persen. Data ini menunjukkan penurunan dari tahun sebelumnya.
Kedua, penghapusan pajak ganda menjadi
sangat penting terkait dengan kepentingan masuknya investasi asing di
Indonesia. Adanya pajak ganda akan menyebabkan industri perbankan dan keuangan
syariah Indonesia menjadi kurang menarik dikembangkan. Dampaknya, motivasi para
investor untuk masuk dan mengembangkan industri syariah di Indonesia pun
menjadi surut. Dengan adanya penghapusan pajak ganda akan memicu perkembangan
industri syariah tidak hanya di perbankan syariah namun juga pada industri
lainya seperti asuransi dan pasar modal syariah.Sesungguhnya pemberlakuan hanya
satu kali pajak dalam pembiayaan syariah telah dilakukan oleh banyak negara
lain. Saat ini negara yang memiliki industri keuangan dan perbankan syariah
telah menghapuskan pajak ganda dalam transaksi pembiayaan syariah diantaranya,
Amerika Serikat melalui Office of the Comptroller of the Currency (OOC) yang
mengeluarkan dua interpretative letters yang berisi tentang transaksi murabahah
dan ijarah.
Demikian juga Inggris telah menghapus pajak ganda dengan
diintroduksinya Finance Act 2003 oleh badan independen yang menentukan regulasi
keuangan Inggris (FSA, Financial Services Authority). Singapura menghapus pajak
ganda sejak Maret 2005 melalui Monetery Authority of Singapore. Sedangkan
Malaysia telah menghapus pajak gandanya hampir satu dekade yang lalu yakni saat
perkembangan awal industri syariah di negara tersebut. Malaysia menghapus pajak
ganda dengan Amandement Real Property Gains Tax Act 1976 dengan tambahan
pengaturan baru pada schedule 2 paragrap 3 (g) yang menyebutkan gain yang
diperoleh bank penjualan aset kepada nasabah atas prinsip syariah dikecualikan
dari pajak.
Solusi
Untuk menghapus pajak ganda di Indonesia, paling tidak ada dua
upaya dapat dilakukan, yakni melakukan perubahan (amandemen) regulasi yang
menyangkut pajak, atau dengan melakukan penambahan klausula tentang penghapusan
pajak ganda pada regulasi yang menyangkut industri bisnis syariah.
Pertama, secara ideal, penghapusan ini
dengan melakukan amandemen regulasi yang menyangkut pajak yakni UU No. 18 Tahun
2000 tentang perubahan kedua atas Undang-undang No.8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
Sebenarnya, jika kita cermat, saat ini telah ada Peraturan Pemerintah No. 144
tahun 2000 yang mengatur jasa perbankan mendapatkan dispensai untuk tidak
terkena wajib pajak PPN.
Kedua, dengan memanfaatkan momentum yang
ada, yakni saat ini RUU Perbankan Syariah dan RUU Surat Berharga Syariah Negara
(SBSN) sedang dibahas, perlu memasukkan klausula yang menyangkut penghapusan
pajak ganda pada kedua RUU tersebut. Adapun pasal yang menyangkut penghapusan
pajak ganda pada RUU tersebut akan menjadi lex specialis (pengecualian hukum)
terhadap UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Sebab selama ini aturan yang
mengatur perbankan syariah hanya berupa aturan tentang perbankan nasional (UU
No.10 Tahun 1998), belum ada regulasi yang mengatur perpajakan bagi perbankan
syariah sehingga transaksi syariah terkena pajak ganda. Mempertahankan pajak
berganda akan menghambat perkembangan industri syariah ke depan, untuk itulah
diperlukan political will dari pengambil kebijakan dan upaya sinkronisasi
perundang-undangam secara menyeluruh dalam rangka membangun ekonomi syariah dan
sistem perekonomian Indonesia yang kuat.
Ketiga, Pentingnya Sinergi antara Ahli
Akuntansi dan Ahli Syariah. Dalam penetapan suatu hal baik itu standar
akuntansi di perbankan syariah (PSAK), produk-produk di takaful maupun di pasar
modal syariah seharusnya diserahkan kepada pihak yang ahli. Dalam penetapan
akuntansi, tidak hanya orang yang ahli akuntansi yang dibutuhkan, akan tetapi
tenaga ahli syariah juga sangat penting demi menghindari terjadinya dispute di
kemudian hari. Oleh karena itu, seharusnya tim penetapan standar akuntansi
syariah nasional yang ada harus melibatkan beberapa tenaga ahli syariah yang
kompeten (tidak hanya mengerti di bidang syariah, tetapi juga memahami
prinsip-prinsip akuntansi dan perbankan syariah, kalau penetapannya terkait di
bidang perbankan syariah. Sedangkan jika terkait dengan pasar modal syariah,
maka yang ahli di pasar modal syariah harus dilibatkan). Sehingga kritikan
terhadap standar akuntansi yang ada tidak menimbulkan permasalahan dan bisa jadi
menyebabkan produk tersebut tidak sesuai dengan syariah.
Keempat, Urgensi Memiliki Shariah Committee
dalam Penetapan Standar PSAK. Setelah kita menelaah kasus di atas dan bagaimana
dasar penulisan PSAK secara umum dalam al-Quran maupun al-Sunnah. Permasalahan
yang ada dalam penulisan PSAK yang ada saat ini disebabkan tidak terdapat ahli
syariah dalam perumusan PSAK tersebut. Maka dari itu, peran Shariah scholar
ataupun dewan syariah sangat diperlukan sehingga tidak terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan. Kalau kita mau berkaca pada AAOIFI (Accounting and Auditing
Organization for Islamic Financial Institution) di Bahrain dan juga IFSB
(Islamic Financial Services Board) di Malaysia, organisasi-oranisasi tersebut
dalam menetapkan setiap akad pasti melibatkan beberapa ulama yang ahli syariah
sehingga meminimalkan terjadinya kesalahan dalam penulisan yang tidak sesuai
dengan syariah. Oleh sebab itu, keberadaan dewan syariah di lembaga akuntansi
di Indonesia bisa menjadi WAJIB karena banyaknya permasalahan yang terjadi di
standar PSAK yang menyebabkan beberapa produk perbankan syariah kita tidak
sesuai dengan syariah.
Daftar
Pustaka
Applied
Technique for Islamic Product, Strategy & Accounting. Euromoney Training.
London, Mei 2005
Bisnis
Indonesia, 29 Februari 2008
Hosen,M.N.
“Buku Saku Perbankan Syariah”.
Direktur Eksekutif PKES . Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah. Jakarta, Nopember
2005.
Islamic
Banking & Finance Asia Conference. The Asia Business Forum. Singapore, 31
Jan-1 Februari 2005.
Repulika,
05 Febuari 2010
Terima kasih Artikelnya, Jarang sekali yang bahas akuntani pajak sariah.
BalasHapusLOI THERESA
BalasHapusPada masa ini, kami memberi pinjaman kepada orang Asia Asia liar pertaruhan dunia liar
negara dan sebagainya. @ 2% Kadar Faedah dengan NO KAWALAN KREDIT dari USD5000, hingga berbilion dolar dalam tempoh 12-144 Bulan.
REMUNERASI LENDING kami bermula dalam masa 3 bulan selepas penerima menerima pinjaman pada hari kelulusan dan kami menawarkan pelbagai
daripada pinjaman, termasuk:
* Penyatuan hutang
* Pinjaman Perniagaan
* Pinjaman Peribadi
* Pinjaman Rumah
* Pinjaman Kewangan Kereta
✔. Senarai hitam boleh dikenakan
✔. NO CHECK CREDIT
Kajian ✔.Debt atau perintah mahkamah boleh dikenakan
✔.ETC boleh memohon.
Pinjaman Tunai Theresa Syarikat ini adalah a
filem pinjaman berdaftar dan dibenarkan dan kami menawarkan pinjaman kepada semua warganegara yang tersenarai hitam, tidak semak KREDIT.
Terapkan sekarang dengan nombor mudah alih anda, nombor ID, nama penuh, jumlah pinjaman dan tempoh pinjaman kepada E-mel
: Nombor pejabat Theresaloancompany@gmail.com ++ 12817208403
Untuk kejelasan lanjut, jangan ragu untuk menghubungi kami atau WhatsApp (+12817208403).
Salam sejahtera,
Ada
Pengiklan Pinjaman (Pr),
Pinjaman Theresa 📩