Pada tahun 1963 Gubernur bank sentral
ditetapkan sebagai sebutan Menteri urusan bank sentral, pada waktu itu segala
urusan kebijakan moneter ditetapkan oleh Menteri urusan bank sentral dan
bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Waktu itu aksi-aksi militer guna
memadamkan pemberontakan didaerah makin menggerogoti anggaran pemerintah,
diperbesar lagi adanya propaganda politik misalnya, pemberontakan Irian barat,
konfrontasi dengan Malaysia, pembangunan proyek-proyek mercusuar dan lain sebagainya,
yang akibatnya menimbulkan defisit bagi negara semakin parah. Defisit negara
yang semula pada tahun 1955 sebesar 14% membengkak menjadi 175%. Sehingga untuk
menutupinya pemerintah melakukan Money
Creation yang mengakibatkan inflasi makin tinggi.
Sedangkan tahun 1964, Indonesia mengalami
hiperinflasi
sebesar 109% yang diakibatkan adanya mata uang yang berbeda di Indonesia yaitu
di Riau dan Papua. Namun pada tahun1964, mata uang tersebut akhirnya dihapuskan
dan Indonesia menggunakan Rupiah sebagai mata uang nasional.
Tingginya laju inflasi ini mengikis
tingkat suku bunga riil para deposan, bahkan menjadi negatif. Akibatnya banyak
bank yang menggunakan uang nasabah dimasukkan ke institusi luar yang returnnya
lebih tinggi termasuk perdagangan komoditas yang untungnya jauh lebih besar.
Sehingga BI memberi aturan tegas bagi bank-bank di Indonesia agar uang tidak
lari keluar guna menjaga likuiditas dalam negeri. Sifatnya adalah membatasi
ruang gerak dan peningkatan permodalan. Pemerintah memberikan aturan bahwa
seluruh saldo bank-bank swasta harus dipindahkan ke rekening bank-bank
pemerintah. Untuk itu pemerintah mengharuskan bank-bank swasta menambah jumlah
modal sebesar 25 juta rupiah.
Namun hiperinflasi tetap tidak dapat
dihindari akibat Money Creation yang
terus menerus, sehingga pada tanggal 13 Desember 1965 pemerintah melakukan
pemotongan nilai uang dari 1000 rupiah menjadi 1 rupiah. Kebijakan ini
memberikan pukulan besar bagi perbankan nasional, terutama yang telah menyetor
modal tambahan karena tergerus drastis dalam sekejab. Para nasabah perbankan
juga gigit jari akibat nilai dana simpanannya juga menciut 1/1000. Segala usaha
pemotongan nilai uang ini ternyata tidak berhasil meredam inflasi, dan harga
tetap naik membumbung tinggi maka terjadilah hiperinflasi.
Karena,
inflasi yang tinggi menyebabkan daya beli masyarakat terhadap barang dan jasa
menjadi turun pada tahun 1965. Laju inflasi pada waktu itu sebesar 650%,
berarti harga-harga naik lebih dari enam kali lipat dalam kurun waktu satu
tahun.
Perlu diketahui bahwa gejala hiperinflasi
ini dulu juga dimulai dengan menguatnya nilai tukar USD seperti sekarang yang
terjadi. Dimana USD menguat tak terkendali, padahal resesi ekonomi terjadi di
negara yang mengeluarkan uang USD tersebut. Waktu itu Indonesia amat bergantung
pada import sehingga bahan-bahan baku dan barang di Indonesia meningkat tak
terkendali, suku bunga bank meroket 90% guna mengurangi likuiditas yang terlalu
besar beredar di masyarakat. Dunia usaha macet, banyak penganguran dimana-mana,
GDP minus, banyak orang frustasi.
Banyaknya uang yang beredar terlalu
besar mengakibatkan menurunkan nilai mata uang itu sendiri. Tetapi lain bagi
pemilik emas, harganya masih tetap stabil, ketika rupiah terpuruk dari 1 USD
menjadi 20.000 rupiah, maka harga emas akan semakin membumbung tinggi , jika
melakukan jual beli didalam negeri.
Hiperinflasi tersebut menyebabkan nilai mata
uang asing menguat. Hal ini menyebabkan harga barang import semakin naik. Pada
saat itu, banyak dari perusahaan di Indonesia sendiri melakukan banyak kegiatan
import untuk bahan bakunya. Akibatnya banyak pabrik yang melakukan pengurangan
tenaga kerja dan bahkan menutup usahanya. Hal ini menimbulkan tingkat
pengangguran yang semakin tinggi.
Para pemilik uang melihat hal ini akan
merupakan hal yang merugikan sehingga mereka menggunakan mata uang asing untuk
tetap mendapatkan keuntungan. Untuk mengurangi hal itu terjadi, maka pemerintah
Indonesia menetapkan tingkat suku bunga dinaikan untuk menarik para nasabah
kembali menyimpan uang di bank.
Teori dampak fisher internasional
(International Fisher Effect–IFE) menggunakan tingkat suku bunga sebagai
pengganti perbedaan inflasi, untuk menjelaskan mengapa kurs berubah sepanjang
waktu, namun teori ini sangan terkait dengan teori paritas daya beli
(Purchasing Power Parity–PPP) karena suku bunga seringkali sangat terkait
dengan tingkat inflasi. Menurut dampak fisher, tingkat suku bunga bebas resiko
nominal mencakup tingkat pengembalian riil dan taksiran inflasi. Jika investor
dari seluruh negara menginginkan pembelian yang sama, perbedaan tingkat suku
bunga antar negara mungkin merupakan akibat dariperbedaan taksiran inflasi.
Dalam kasus yang kita bahas ini,
pemerintah menggunakan teori dari Irving Fisher untuk menyelesaikan masalah
inflasi, yakni penetapkan tingkat suku bunga yang tinggi. Mereka berharap
dengan adanya suku bunga yang tinggi dapat menarik kembali para nasabahnya agar
mau untuk menabung di bank. Hal ini dapat mengurangi money supply yang ada, yang nantinya akan berdampak terhadap
penurunan nilai mata uang asing dan penguatan pada nilai mata uang lokal.
Teori paritas daya beli (PPP) menyatakan
bahwa pergerakan nilai tukar disebabkan oleh perbedaan tingkat inflasi. Jika
suku bunga riil antara negara sama, maka perbedaan suku bunga nominal
diakibatkan oleh perbedaan taksiran inflasi. Teori dampak fisher internasional
(IFE) menyatakan bahwa mata uang asing dengan suku bunga yang relatif tinggi
akan terdepresiasi karena suku bunga nominal yang tinggi mencerminkan taksiran
inflasi. Suku bunga nominal juga turut membentuk resiko gagal bayar (default)
atas investasi.
Sebagai
contoh, misalkan : suku bunga nominal di Amerika Serikat (AS)
adalah 8%. Para investor di AS memperkirakan tingkat inflasi sebesar 6%, yang
berarti mereka mengharapakan pengembalian riil sebesar 2% selama 1 tahun. Suku
bunga nominal di Kanada adalah 13%. Dengan mengasumsikan bahwa investor Kanada
juga menginginkan pengembalian riil sebesar 2%, taksiran inflasi di Kanada
haruslah sebesar 11%. Berdasarkan teori paritas daya beli (PPP), dollar kanada
diperkirakan akan terdepresiasi sekitar 5% terhadap dollar AS (karena inflasi
di Kanada lebih tinggi 5%). Maka, investor AS tidak akan memperoleh keuntungan
dari investasi di Kanada karena perbedaan suku bunga sebesar 5% akan terkompensasi
oleh investasi pada mata uang yang diperkirakan nilainya turun 5% pada akhir
periode investasi. Investor AS akan mendapatkan 8% dari investasi di Kanada,
sama dengan hasil yang merekaperoleh dari investasi di AS.
Sama seperti contoh kasus di atas,
apabila pada tahun 1963 inflasi di Indonesia lebih tinggi dibanding inflasi di
Amerika maka rupiah akan terdepresiasi. Investor–investor tidak memperoleh
keuntungan dari investasinya di Indonesia karena perbedaan suku bunga tersebut.
Implikasi dampak fisher internasional
(IFE) bagi investor asing yang berupaya memanfaatkan suku bunga Amerika Serikat
(AS) yang relatif tinggi akan sama. Investor asing akan terkena dampak negatif
dari tingkat inflasi AS yang relatif lebih tinggi jika mereka berusaha
memanfaatkan suku bunga AS yang lebih tinggi.
Sebagai
contoh, misalkan : tingkat suku bunga nominal di AS
adalah 8% dan di Jepang adalah 5%. Taksiran tingkat pengembalian riil dikedua
negara tersebut adalah 2%. Tingkat inflasi AS diperkirakan 6%, sementara tingkat
inflasi di Jepang diperkirakan 3%. Berdasarkan teori paritas daya beli (PPP),
Yen Jepang diperkirakan akan terapresiasi sebesar 3% karena perbedaan tingkat
inflasi. Jika terjadi perubahan kurs seperti yang telah diperkirakan, investor
Jepang yang berusaha memanfaatkan suku bunga AS yang lebih tinggi akan
memperoleh hasil yang sama dengan hasil investasi pada negara mereka sendiri.
Meskipun suku bunga AS 3% lebih tinggi, investor Jepang akan membeli kembali
Yen pada akhir periode investasi dengan harga yang lebih tinggi 3% dibandingkan
harga penjualan Yen mereka dahulu. Karenanya, pengembalian dari investasi di AS
tidak lebih tinggi dibanding dengan yang mereka peroleh jika melakukan investasi
di Jepang.
Kesimpulan :
Indonesia memang pernah mengalami hiperinflasi,
namun tidak pernah melakukan redenominasi. Yang terjadi hanyalah nilai rupiah
yang merosot tajam. Menurut studi dari Departemen Ilmu Politik Universitas
North Carolina, Indonesia pernah hiperinflasi tinggi yakni pada tahun 1962
(131%), 1963 (146%), 1964 (109%), 1965 (307%), 1966 (1136%), 1967 (106%), dan
1968 (129%). Inflasi terjadi ketika jumlah money supply di masyarakat terlalu
tinggi. Hal ini menyebabkan nilai mata uang akan melemah sedangkan nilai dari
mata uang asing akan semakin menguat. Ketika mata uang asing itu menguat, harga
import akan semakin naik sedangkan harga ekspor akan semakin turun. Hal ini
menyebabkan perusahaan di Indonesia yang banyak mengimpor dari luar harus
mengurangi biayanya. Maka banyak terjadi pengkikisan pekerja dan penutupan
banyak pabrik yang berdampak pada peningkatan pengangguran di Indonesia. Hal
ini juga berdampak pada investor yang merasa rugi untuk menanamkan modalnya,
sehingga nilai dari investasi akan menurun. Untuk mengatasi hal itu, pemerintah
mengambil jalan dengan Teori dampak fisher internasional (International Fisher
Effect–IFE) dimana mereka melakukan peningkatan suku bunga untuk menarik
kembali para nasabahnya untuk dapat mengurangi money supply.
Sumber :
http://ilerning.com/index.php?option=com_content&view=article&id=427:dampak-fisher
internasional-international-fisher-effect-ife&catid=40:mnc-a-kurs&Itemid=72
http://ilerning.com/index.php?option=com_content&view=article&id=604:hiperinflasi-di-indonesia-tahun-1963-dan-1998&catid=40:mnc-a-kurs&Itemid=72
http://www.rumahuang.com/sejarah-mata-uang-indonesia/
http://www.scribd.com/doc/83790887/Hiperinflasi-Di-Indonesia-Tahun-1963
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Buat teman - teman yang merasa belum puas dengan apa yang Nas tulis, silahkan kasih kritik N saran yaKk...
: )